Doktrin purgatorium memandang purgatorium sebagai pelunasan hutang dosa-dosa pribadi. Sekalipun dosa sudah diampuni dalam sakramen pengampunan dosa, namun hukuman dosa itu harus tetap ditanggung dalam purgatorium. Ini bukan pandangan Ortodoks yang memandang bahwa pengampunan dosa juga menghapuskan hukuman yang didatangkan dosa itu sebab di mana dosanya sudah dilenyapkan, maka tidak ada hukuman yang bisa datang atas dosa yang tidak ada lagi. Ortodoks memandang derita akhirat sebagai konsekuensi kerusakan dosa pribadi.
Ujian dan Penyucian Api = ini terjadi dalam hidup ini ataupun pada Penghakiman Terakhir. Bukan pada suatu kondisi di antara hidup ini dan Penghakiman Terakhir yang disebut Purgatorium. Hukum Musa mengharuskan agar pencuri mengembalikan empat kali lipat. Tetapi apabila si korban memaafkan, maka denda ini tidak usah dibayarkan. Bahkan dalam keadilan manusia, yang lebih rendah daripada Keadilan Ilahi, hak korban diakui untuk menuntut balas maupun untuk memaafkan. Sebab itu inti keadilan: setiap orang mendapat bagian masing-masing, termasuk bagian hak untuk baik menuntut balas maupun untuk memaafkan. Sebab adalah bagian hak korban untuk menuntut balas maupun untuk memaafkan. Tetapi konsepsi ini membuat Allah menjadi seperti koding program atau rumus matematika. Jika X maka Y. Jika dosa dilakukan sejumlah X, maka dituntut hukuman sejumlah X. Dalam Perumpamaan hamba yang tidak mengampuni, hamba yang telah diampuni hutang sepuluh ribu talenta itu persisnya dihukum dengan dituntut membayar kembali hutangnya ketika ia sendiri tidak mengampuni sesamanya, karena menghapus hukuman itu mungkin dan hendak dilakukan Allah. Jadi, Allah tidak berada di bawah keharusan menghukum sejumlah X terhadap dosa sejumlah X.
Permasalahan bukan apakah kesalahan dan dosa bisa dihukum setelah mati atau tidak karena semua orang Kristen mengetahui dan mengakui bahwa memang kesalahan dan dosa bisa dihukum setelah mati. Jika tidak, tidak akan ada penghakiman setelah kematian.
2 Makabe 12:39-45. Namun ini tidak mengandung gagasan purgatorium sendirinya. Hanyalah bahwa doa itu berguna bagi orang yang telah mati.
APOPHTHEGMATA PATRUM Makarius Agung: XXXVII. Dikatakan oleh Abba Makarius, sedang aku berjalan di gurun pada suatu hari, kutemukan tengkorak seorang yang telah mati yang tergeletak di tanah. Saat kugerakkan dengan tongkatku, tengkorak itu berbicara kepadaku. Kataku kepadanya, siapakah engkau? Jawab tengkorak itu, Aku dulunya pendeta agung berhala-berhala dan orang-orang pagan yang berdiam di tempat ini, tetapi engkau Makarius Pembawa-Roh. Setiap kali engkau mengasihani mereka yang berada dalam siksaan serta berdoa bagi mereka, mereka merasakan sedikit kelegaan. Kata Penatua itu kepadanya, kelegaan apakah dan siksaan apakah? Katanya kepada Penatua itu, sejauh langit jauhnya dari bumi, sehebat itulah Api di bawah kami, sedang kami berdiri di tengah-tengah Api dari kaki hingga kepala kami. Tiada mungkin untuk melihat siapa pun wajah berhadapan wajah, melainkan wajah orang terpaku pada punggung orang yang lainnya. Tetapi ketika engkau berdoa bagi kami, setiap orang dari kami boleh melihat wajah yang lainnya sedikit. Inilah kelegaan bagi kami. Dengan berurai airmata Penatua itu berkata, Celakalah hari manusia dilahirkan! Katanya kepada tengkorak itu, Ada lagikah penghukuman yang menyakitkan melebihi ini? Kata tengkorak itu kepadanya, Ada penghukuman yang amat pedih di bawah kami. Kata Penatua itu, Siapakah orang-orang yang berada di bawahmu? Kata tengkorak itu kepadanya, Kami telah menerima sedikit belas-kasihan sebab kami tiada mengenal Allah, tetapi mereka yang mengetahui Allah serta menolak-Nya berada di bawah kami. Lalu dipungutnya tengkorak itu dan Penatua itu menguburkannya.
Apabila orang mengaku dosa lalu dihapuskan dosanya, tetapi tidak menyesali dosa yang sudah diampuni itu, berarti ia bersalah bukan karena dosa yang sudah diampuni (karena dosa itu sudah diampuni), melainkan bersalah karena tidak menyesali dosa dan meremehkan Misteri Pengakuan Dosa. Sehingga dosa yang sudah diampuni tidak ada lagi, dan hukumannya pun tidak ada lagi. Sebab jika sebaliknya, apakah Tuhan mengampuni hutang sepuluh ribu talenta (dosa), tetapi mengharuskan orang itu tetap masuk penjara (hukuman) sebelum orang itu ditangkap tidak mengampuni sesamanya? Orang yang diampuni sepuluh ribu talenta itu hanya dilemparkan ke penjara setelah ia tidak mengampuni hutang sesamanya. Penjara itu hukuman bukan bagi hutang sepuluh ribu talenta, sebab ini sudah diampuni/dihapuskan Tuannya, melainkan bagi kesalahan tidak mengampuni sesamanya. Tetapi purgatorium mengajukan bahwa setelah orang diampuni dosanya bahkan melalui sakramen pengakuan dosa, namun kemudian ia harus menanggung hukuman bagi dosa (yang dikatakan sudah diampuni itu) di purgatorium. Maka dengan demikian bukankah orang-orang Latin bersaksi bahwa mereka tidak memiliki Mysterion Pengakuan Dosa sebab sakramen mereka menjadi tidak mampu menghapuskan hukuman bagi dosa yang diakui dan seharusnya diampuni itu? Jika hukumannya tidak hapus, jadi terhadap apa hukuman itu dijatuhkan? Maka jelas bahwa dosanya masih tetap ada. Dari sini jelaslah bahwa mereka telah kehilangan Kunci Surga, yaitu Roh Kudus, yang dengan kunci ini dosa orang yang diampuni di bumi juga diampuni di Surga, dan dosa orang yang dinyatakan tetap ada di bumi juga tetap ada di Surga. Maka mereka sendiri telah bersaksi bahwa mereka telah kehilangan kerasulan Petrus, yang pada kursi itu setiap uskup duduk sebagai Petrus dan rasul.
Limbo dikembangkan sebagai tempat bagi kanak-kanak yang mati tanpa dibaptis. Sedangkan jelas bahwa hanya orang yang dibaptis ke dalam Tubuh Kristus yang bisa pergi ke Surga, agar di mana Dia berada kita juga berada, namun tampaknya kanak yang mati tanpa dibaptis itu pergi ke Firdaus, bukan ke Surga maupun ke limbo.
Dosa melibatkan culpa (kebersalahan) dan poena (hukuman). Bagi mereka sakramen pengakuan dosa mereka menghapuskan culpa, tetapi tidak menyebabkan poena menjadi lenyap. Yang sungguh absurd bahkan mengikuti pembedaan ini. Sebab dalam pandangan yuridis Latin, poena merupakan suatu hukuman yang berlaku bagi suatu culpa tertentu. Tanpa culpa, bagaimana masih tetap ada poena? Maka Aquinas membuat pembedaan yang tidak berpengetahuan/tidak berpengertian. Yaitu, mereka tidak mengerti apa yang mereka ajukan, maupun apa yang mereka ocehkan. Sebab pengetahuan itu pembedaan, sebab mengetahui X berarti mengetahui bukan-X, dengan kata lain membedakan antara X dan bukan-X. Tetapi dengan membuat pembedaan culpa dan poena, Aquinas bahkan tidak mengerti bahwa pembedaan ini sendirinya membuktikan kesesatan purgatorium. Jadi, doktrin purgatorium telah terbukti, atas dasar ucapan pembuktian mereka sendiri, sebagai bertentangan terhadap Hukum Ilahi dan bahkan hukum manusia
Nulla poena sine culpa = Tiada hukuman tanpa kesalahan = tanpa culpa tidak ada poena sebab sakramen pengakuan dosa Latin tidak menyebabkan poena menjadi lenyap, jelas bahwa dengan demikian mereka sendiri telah mengakui bahwa mereka sudah terputus dari Kunci Surga yang mengampuni culpa sehingga melenyapkan poena pula.
Bagaimana keadilan yang unggul mengatasi keadilan manusia itu, seperti dikatakan Kitab Suci, seperti langit di atas bumi, demikian jauhnya Jalan-Jalan-Ku dari jalan-jalanmu, boleh menjatuhkan poena di mana tidak ada culpa, tetapi keadilan manusia yang lebih adil dan melenyapkan poena di mana culpa sudah dihapus? Aquinas bukan saja tidak mengerti Keadilan Ilahi, ia bahkan tidak mengerti apa itu keadilan sama sekali. Tetapi untuk memastikan sepenuhnya, barangkali mereka perlu memperjelas apa yang mereka maksud dengan 'hukuman' [poena] di purgatorium, dan apa sebab poena ini. Tetapi memang kita sudah melihat bahwa dikatakan bahwa purgatorium menghukum konsekuensi dosa yang sekalipun sudah diampuni dalam sakramen pengampunan dosa mereka. Dan juga orang Latin berargumen demikian bahwa dosanya memang diampuni, tapi hukumannya tetap jalan di purgatorium.
Dua Homili Mengenai Purgatorium Latin: Markus Dari Efesus: 'Karenanya, kami tidak akan menyimpang dari tafsiran perkataan Rasul yang telah dikutip di atas, sekalipun jika Agustinus atau Gregorius Dialogis atau seorang Pengajar lain darimu memberi penafsiran seperti itu, sebab penafsiran seperti itu kurang berhubungan dengan gagasan purgatorium sementara daripada dengan ajaran Origen yang, berbicara mengenai pemulihan akhir jiwa-jiwa melalui api dan pelepasan dari siksaan, dilarang dan diserahkan kepada Anathema oleh Sinode Ekumenikal Kelima, dan telah dicampakkan secara pasti sebagai kefasikan umum bagi Gereja.'
Tampaknya salah satu poin pertentangan adalah bahwa purgatorium mengajukan perubahan kondisi jiwa setelah kematian secara general dan drastis. Seorang Bapa Gereja (kalau tidak salah Gregory dari Nyssa) mengajarkan bahwa orang hanya bisa bertobat sebelum mati karena sebagaimana orang berdosa dalam jiwa dan tubuh, maka juga bertobat dalam jiwa dan tubuh. Asas umumnya, bukannya tanpa pengecualian, adalah bahwa takdir kekal suatu jiwa itu umumnya fixed ketika kematian. Seperti ketika orang menabur benih, benih apapun itu yang ada di tangannya dan ditaruhnya ke dalam tanah, itu pula yang harus tumbuh keluar dari tanah.
Tetapi bukan tanpa pengecualian. Sebab memang doa dan syafaat Gereja itu bermanfaat bagi orang mati. Yang seperti kita lihat dalam kutipan dari Apophthegmata Patrum mengenai Makarios Agung dan tengkorak itu bisa memberi kelegaan bagi jiwa-jiwa dalam Hades. Selain itu juga bisa menolong dan menyelamatkan jiwa mereka yang mati di luar Gereja sekalipun, seperti misalnya yang dicatat dalam kisah-kisah Gregory Dialogis, Perpetua, dan Varus (Jika ini dihubungkan dengan apa yang diungkapkan Gregory dari Nyssa, saya akan berspekulasi bahwa Allah menolong Trajan (oleh doa Gregory Dialogis) dan sahabat Perpetua dan juga putra Kleopatra (oleh Martir Varus) dengan membangkitkan mereka lalu membaptis mereka, sehingga mereka menjadi diselamatkan).
Intermediate state hanya berupa gambaran akan takdir kekal jiwa. Baik upah maupun hukuman belum diterima sepenuhnya, melainkan hanya secara gambaran saja. Sehingga dengan demikian baik jiwa yang benar itu oleh keberkatan yang belum sepenuhnya dalam kondisi sementara, maupun jiwa yang fasik itu oleh siksa yang belum sepenuhnya dalam kondisi sementara, boleh mengerti apa yang akan menjadi takdir kekalnya.
Aquinas berargumen bahwa jiwa langsung menerima takdir kekal setelah kematian. Namun ini bertentangan dengan Gregory dari Nyssa yang mengajarkan bahwa seluruh umat manusia harus menanti Kebangkitan Semesta agar boleh diadili dalam tubuh dan jiwa akan segala perbuatan yang telah dilakukan dalam tubuh dan jiwa, serta menerima baik Upah maupun Hukuman dalam tubuh dan jiwa pula. Jadi bagi Gereja Ortodoks takdir kekal harus diterima sebagai manusia utuh yaitu setelah Kebangkitan Semesta. Namun bagi orang Latin, takdir kekal diterima langsung setelah kematian. Satu hal lagi adalah bahwa anak yang mati sebelum dibaptis itu sesungguhnya sudah melunasi hutang bagi dosa asal yaitu dengan mati.
Gregory dari Nyssa: dosa asal dileburkan, seperti karat dileburkan dalam tanur, dalam kematian. Juga ada suatu keyakinan orang Kristen bahwa pada Kebangkitan Semesta, semua orang akan dibangkitkan pada usia ketika Tuhan bangkit yaitu 33 tahun.
Purgatorium = hukuman menyucikan setelah kematian bagi mereka yang mati bukan dengan dosa mematikan dan yang membawa kebajikan ke akhirat. Dengan kata lain poin pertentangan adalah pada apakah perubahan kondisi jiwa itu bersifat umum bagi golongan yang disebutkan (Latin) atau hanya kasus-kasus khusus pengecualian (Ortodoks). Yaitu apakah Api yang menghanguskan jerami dan sekam itu berlangsung sebelum Penghakiman Terakhir (Latin) atau pada Penghakiman Terakhir (Ortodoks). Hutang dosa asal dibayar oleh kematian. Manusia turun ke Hades karena kuasa Adam telah direbut oleh Setan.
Jiwa benar pergi ke Firdaus yaitu Pangkuan Abraham (yang telah ditarik keluar dari Hades), sedangkan jiwa fasik pergi ke Gehenna, sebagai tempat penantian masing-masing untuk Penghakiman Terakhir. Gereja Latin menolak ini, namun mengajukan bahwa jiwa yang mati tanpa dosa mematikan dan membawa kebajikan akan disucikan dalam purgatorium untuk kemudian pergi ke Surga. Firdaus dan Sheol merupakan tempat sementara sebelum menuju tujuan akhir yaitu Surga atau Neraka yaitu Lautan Api. Sebab maut dan sheol sendiri akan dilemparkan ke dalam Lautan Api. Maka tak akan ada maut lagi. Jiwa benar menantikannya di Firdaus, sebagai tanda bahwa pada Penghakiman Terakhir jiwa ini akan diperkenankan untuk masuk ke Surga. Jiwa fasik menantikannya di Hades, sebagai tanda bahwa pada Penghakiman Terakhir jiwa ini akan diusir ke kegelapan terluar.
'Pemberian indulgensia dipredikasikan pada dua keyakinan. Pertama, bahwa dalam sakramen pengakuan dosa tidaklah cukup agar culpa dosa diampuni melalui pengampunan saja, juga orang harus menjalani hukuman (poena) temporal karena telah memurkakan Allah Mahakuasa. Kedua, indulgensia didasarkan pada keyakinan akan purgatorium, yaitu tempat di akhirat di maan orang boleh terus menghapuskan hutang dosa yang menumpuk...'
Sakramen penance mereka hanya menghapuskan culpa, tidak menghapuskan poena bagi culpa itu. Mereka tampaknya memaksudkan epithimia (penance) = hukuman-tobat yang diberikan bagi orang yang diampuni dosanya melalui Mysterion Pengakuan Dosa. Tetapi bagi kita epithimia ini bukan sesuatu yang kalau tidak dilakukan maka berefek terhadap dosa yang sudah diampuni. Dengan kata lain, dosa itu dan hukumannya sudah diampuni dan tidak ada lagi. Epithimia diberikan untuk memperbaiki jiwa, untuk alasan pastoral. Jadi mereka mengajukan purgatorium sebagai tempat di mana epithimia harus dilanjutkan dan diselesaikan. Dan mereka memandang apa yang kita sebut epithimia (tetapi mereka sebut poena) itu sebagai hukuman/poena yang berlaku atas culpa dosa yang diampuni. Jadi, pergeseran makna penance (epithimia) secara skolastik (dijadikan sebagai poena bagi culpa) menjadi komponen penting doktrin purgatorium. Sakramen pengakuan dosa mereka bisa menghapus culpa tapi tak bisa menghapus poena, yang kalau tidak selesai dalam hidup ini harus dilanjutkan dan diselesaikan di purgatorium. Tapi Paus mereka bisa menghapus culpa dan poena sekaligus. Epithimia bukan poena = bagi Ortodoks. Aquinas telah mengubah arti penance (epithimia) menjadi poena bagi culpa.
Benediktus XII mengajarkan, secara berlawan terhadap dan dengan mengecam ajaran pendahulunya John XXII: bahwa jiwa orang mati langsung pergi ke Surga (setelah menyelesaikan purgatorium apabila diperlukan) atau langsung pergi ke Neraka setelah mati. John XXII mengajarkan bahwa purgatorium itu berlangsung dari kematian sampai Penghakiman Terakhir. Jadi, ada kontradiksi antara dua Paus mengenai purgatorium.
Sakramen pengakuan dosa Latin menghapuskan culpa tetapi tidak melenyapkan poena. Aquinas telah mengubah arti penance [epithimia] menjadi kewajiban menjalani hukuman (poena). '... apabila poena belum selesai [dalam hidup ini], harus diselesaikan dalam purgatorium.' Purgatorium hanyalah tempat hukuman dan siksaan bagi dosa-dosa yang sudah diampuni.
Ortodoks: jiwa-jiwa menantikan Penghakiman Terakhir baik di Firdaus ataupun di Hades, lalu dibangkitkan dalam tubuh, lalu dihakimi pada Penghakiman Terakhir, lalu pergi ke Sorga atau ke Lautan Api.
Latin: jiwa-jiwa langsung pergi ke Sorga (baik melalui purgatorium dulu atau tidak) atau ke Lautan Api, lalu dibangkitkan dalam tubuh, lalu dihakimi, lalu disuruh kembali masing-masing ke Sorga atau ke Neraka.
Pangkuan Abraham dalam Perumpamaan Lazarus dan orang kaya itu bukan pada Eskathon. Orang kaya itu meminta Abraham agar mengutus Lazarus ke saudara-saudaranya yang masih hidup untuk memperingatkan mereka. Ini jelas bukan Eskathon. Di sini delegasi Latin mengeluarkan jurus deus ex machina: Jiwa tanpa jasmani bisa terbakar dalam api jasmani karena kuasa Allah.
Paus Paul VI juga meneguhkan doktrin bahwa culpa dihapus namun poena tetap berjalan, dan apabila tidak diselesaikan dalam hidup ini, akan dilanjutkan dan diselesaikan di purgatorium setelah kematian.
Para Reformator menolak purgatorium karena tidak sesuai dengan Sola Fide. Juga mereka menolak klaim Paus menghapus poena sekaligus culpa di purgatorium.
Teolog Rusia Perov menjelaskan bahwa '... Gereja berdoa untuk menghapuskan culpa (sehingga otomatis juga melenyapkan poena) jiwa meninggal, bukan untuk menghapuskan poena jiwa, untuk melepaskan jiwa dari Hades, bukan dari purgatorium [suatu tempat ketiga], dan bagi semua jiwa berdosa tanpa membedakan dosa-dosa yang telah dilakukan... kecuali dosa menghujat Roh Kudus'
Setelah kematian jiwa tidak bisa lagi bertobat, karena telah cerai dari tubuhnya. Semua dosa itu dilakukan dalam tubuh dan jiwa, dan hanya bisa ditobati dalam tubuh dan jiwa. Jiwa orang mati bisa menyesal, tapi tak bisa bertobat (bukan dalam arti tak bisa lagi menyesali) akan dosa-dosanya semasa hidup. Bertobat, yaitu berbalik kepada Allah, itu membalikkan seluruh tubuh dan jiwa yang berdosa. Tanpa tubuh, pertobatan jiwa orang mati itu tidak lengkap dan sia-sia. Jadi, tubuh diperlukan untuk pertobatan.
IMAN ORTODOKS: YOHANES DARI DAMASKUS: XVII. PERIHAL Malaikat: Tiada Malaikat itu boleh bertobat karena tanpa-jasmani adanya, sebab oleh karena kelemahan jasmani maka manusia boleh mempunyai pertobatan.
Tetapi di sini tampaknya ketidakmampuan bertobatnya malaikat yang jatuh itu karena tidak mempunyai tubuh jasmani. Malaikat mempunyai tubuh, tetapi tubuh yang halus. Sebab apapun yang terbatas dalam ruang-waktu itu mempunyai morphe. Yaitu, manusia mempunyai tubuh temporal, tetapi Malaikat mempunyai tubuh aeonik. Dan waktu aeonik ini waktu antara Kekekalan dan ruang-waktu jasmani, yang berpartisipasi akan sifat-sifat Kekekalan dan ruang-waktu sekaligus. Malaikat disebut Tanpa-Jasad (Asomata) yaitu tanpa jasad jasmani. Namun mereka mempunyai morphe.
IMAN ORTODOKS YOHANES DARI DAMASKUS: XV. PERIHAL Aeon Atau Zaman: 'Sebelum dunia diciptakan, ketika belum ada matahari yang membagi siang dari malam, maka tiada zaman yang boleh diukur, tetapi ada sejenis gerakan dan jeda waktu yang sejangkau dengan Kekekalan. Dan dalam arti inilah hanya ada satu Zaman, dan Allah disebut sebagai αἰνιος dan προαιώνιος, sebab Zaman atau Aeon itu ciptaan-Nya. Sebab Allah, Yang Tunggal Tanpa-Awal, itulah Sang Pencipta atas segala sesuatu, baik Zaman maupun segala sesuatu yang berkeberadaan. Dan ketika kukatakan Allah, nyatalah bahwa maksudku Sang Bapa dan Anak Tunggal-Nya, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus, dan Roh Mahakudus-Nya, yaitu Allah Tunggal kita'. Aeon, yaitu waktu aeonik, itu sebelum waktu temporal. Di sini alam para Malaikat.
IMAN ORTODOKS YOHANES DARI DAMASKUS XVII. PERIHAL Malaikat: Dialah Sang Pembuat dan Pencipta para Malaikat, sebab Dia menjadikan mereka dari tiada menjadi ada serta menciptakan mereka menurut Gambar-Nya, yaitu Bangsa Tanpa-Jasmani, sejenis Roh atau Api Tanpa-Jasmani, dalam perkataan Daud Ilahi, Dia membuat Malaikat-Malaikat-Nya menjadi Roh dan Pelayan-Pelayan-Nya sebagai Nyala Api, dan telah digambarkan-Nya Ringan dan Semangat dan Panasnya, serta Kuat dan Tajam yang dengannya mereka lapar akan Allah dan melayani-Nya, serta bagaimana mereka dibawa kepada Tempat-tempat di Atas dan sungguh dilepaskan dari segala pikiran jasmani. Maka Malaikat itu Hakekat Akali dalam gerakan terus-menerus dengan kehendak bebas, Tanpa-Jasmani, yang melayani Allah, setelah mendapatkan kodrat Baka oleh Rahmat, dan Sang Pencipta saja Yang mengenal rupa dan batasan hakekatnya. Sebab segala sesuatu yang dibandingkan dengan Allah, Yang Satu-Satu-Nya Tanpa-Banding, didapati oleh kita sebagai padat dan jasmani. Sebab sesungguhnya Allah saja Yang Tanpa-Jasmani dan Tanpa-Tubuh.
Gregory dari Nyssa mengatakan bahwa malaikat jatuh tak bisa lagi bertobat sebab tidak mempunyai tubuh yaitu bahwa roh-roh pemberontak itu sudah tercerai dari morphe mereka, yang disebut oleh Rasul Paulus sebagai Tubuh Surgawi. Sebab segala ciptaan itu bersifat komposit atau gabungan, yang terdiri dari forma dan materi. Tetapi Allah Satu-satu-Nya Yang Mutlak (Simple) Tanpa-Gabungan (Uncompound).
No comments:
Post a Comment