Tentang Logos dan Logoi dari St. Maximus the Confessor
The Logos of God is like a grain of mustard seed (cf. Matt. I 3 : 3 I ) : before cultivation it looks extremely small, but when cultivated in the right way it grows so large that the highest principles of both sensible and intelligible creation come like birds to revive themselves in it. For the principles or inner essences of all things are embraced by the Logos, but the Logos is not embraced by anything. Hence the Lord has said that he who has fa ith as a grain of mustard seed can move a mountain by a word of command ( cf. Matt. 17 : 2o), that is, he can destroy the devil's dominion over us and remove it from its foundation. (Philokalia 2, 70–71; ET, 139–40)
Ini contoh dari Maximus yang menjelaskan tentang kosmologi, bahwa penciptaan merupakan kehendak Allah yg bebas dan benevolence, lebih tepat Logos dan logoi dapat dibandingkan dengan pusat lingkaran sebagai sumber tak terpisahkan dari semua jari-jari yang memanjang darinya. Perbandingan ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip makhluk ciptaan (logoi) berpusat pada Logos, dan bahwa Logos adalah pusat pemersatu seluruh ciptaan karena hubungan antara Logos (Firman Pencipta) dan logoi (yang diciptakan). Kata Maximus, melalui kontemplasi dalam Roh, orang percaya dimampukan untuk melihat Logos dalam logoi penciptaan. Dalam bahasa alkitabiah, perumpamaan Tuhan Yesus ttg biji sesawi, Maximus mengatakan bahwa logoi bertengger seperti burung di cabang-cabang dari pohon Logos yang besar. Oleh karena itu, mereka yang berada dalam persekutuan dengan Kristus dimampukan untuk melihat logoi, dunia makhluk-makhluk yang berbeda, dalam terang dari hubungan integral mereka dengan Sang Logos. Melalui persepsi tentang dunia berdasarkan Logos dan logoi ini, Maximus menyoroti bahwa Allah bermaksud menciptakan dunia makhluk yang berbeda, bahwa mereka disatukan melalui hubungannya dengan Logos, dan bahwa alam yang diciptakan itu dinamis atau energik berdasarkan sifatnya dan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Sehingga sang Logos itu tidak pernah lepas dari logoi di dalam ciptaan, Dia selalu tinggal di dalam seluruh ciptaan-Nya. Logoi berasal dari Logos seperti pancaran sinar matahari berasal dari Matahari Logos menjadi pusaran dari seluruh logoi. Sehingga ini menjadi semacam rencana keselamatan manusia juga, di mana manusia mesti menyatu dengan Logos itu sebab kita ini adalah logoi yang berasal dari Logos, sehingga kita bisa mengerti skrg mengapa Yesus itu mengatakan Aku di dalam dia dan dia di dalam Aku di dalam banyak teks Injil Yohanes. Ini juga bisa seperti perumpamaan pokok anggur di dalam Yohanes 15.
Menurut Maximos, kita menemukan gagasan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki maknanya dalam logos atau prinsipnya sendiri, tetapi semua logos ini membentuk satu kesatuan yang koheren, karena mereka semua berpartisipasi dalam satu Logos Allah, Sang Logos atau Firman Allah yang berinkarnasi di dalam Tuhan kita, Yesus Kristus. Maximus sering mengulangi bahwa 'satu-satunya Logos adalah banyak logoi, dan banyak logoi adalah satu Logos'. Artinya bahwa makna alam semesta dapat ditemukan di dalam Kristus; dari mana ia mengembangkan gagasan tentang Kristus kosmik, diungkapkan dan dirayakan dalam liturgi kosmik. Tetapi Maximus sama-sama tertarik pada sisi lain dari doktrin logoi of Creation: keyakinannya bahwa segala sesuatu menemukan maknanya dalam logos keberadaan, logos tes ousias, yang pada gilirannya berpartisipasi dalam Logos Allah. Oleh karena itu, bagi Maximus, setiap makhluk menemukan maknanya dalam kodratnya, dalam apa adanya dimaksudkan untuk menjadi, sebagaimana didefinisikan oleh logos keberadaan, dan logos keberadaan ini tidak dapat diganggu gugat: makna semua makhluk diciptakan di sini, untuk 'banyak logoi adalah satu Logos'.
Logoi dalam ciptaan ini dapat diistilahkan sebagai 'rahmat tercipta', yang tidak memaksudkan bahwa Rahmat itu tercipta, melainkan bahwa Rahmat Tak-Tercipta mengakibatkan efek tercipta dalam ciptaan, dan ini bisa disebut sebagai 'rahmat tercipta'. Ini merupakan fitur bahasa dan bukan memaksudkan bahwa Rahmat Ilahi itu tercipta. Rahmat atau Energi Ilahi haruslah Tak- Tercipta, karena energi harus sebagaimana kodrat. Seperti jika kita melihat riak air di permukaan kolam hasil dampak lemparan batu, kita mengatakan 'itu batu', tanpa memaksudkan sama sekali bahwa air adalah batu. Atau seperti jika kita melihat coretan di dinding hasil seseorang, dan kita berkata, 'itu si anu', tanpa memaksudkan sama sekali bahwa bekas grafit pensil pada dinding adalah si anu. Dalam arti ini kita bisa seperti mengatakan 'rahmat tercipta', tapi hanya dalam tanda kutip, dan inipun merupakan pembahasaan yang tidak berguna sama sekali. Dan 'rahmat tercipta' jelas sama sekali tidak bisa diteologikan sehingga menyatakan bahwa Rahmat itu tercipta.
Hubungan antara logoi ciptaan dan Allah ini bukan bersifat kodrati maupun hipostatik,
melainkan bersifat energetik. Atau tepatnya, merupakan efek dari Energi-Nya. Semua logoi,
yaitu arkhe [awal] dan telos [tujuan] semua masing-masing ciptaan [menurut kodratnya sendiri] itu ada dalam Allah dalam kekal, namun semua logoi ciptaan itu bukan Allah. Sebab semua ciptaan pun sebenarnya berada dalam Allah dalam Kekal, dan ruang-waktu itu sendiri berada dalam Kekekalan dalam Allah.
Tentang Jiwa, Roh, Tubuh
Dalam refleksi antropologisnya, Maximus berbicara tentang komposit manusia baik dalam istilah dikotomis maupun trikotomis. Sementara dia tampaknya lebih suka berbicara tentang ontologi manusia dalam hal tubuh dan jiwa, Maximus kadang-kadang berbicara tentang nous, jiwa, dan tubuh (An example of trichotomy in Maximus is found in Fourth Century on Love, Philokalia 2, 45; ET 2, 105, while an example of dichotomy is seen in Philokalia 2, 4; ET 2, 53–54).
Mengambil konsep para pendahulunya yang menggunakan pemikiran dikotomis dan
trikotomis, termasuk Rasul Paulus, Origen, Gregorius dari Nyssa, dan Evagrius, Maximus
menggambarkan dinamisme eksistensi manusia sebagai nous, jiwa, dan tubuh. Ini tidak dimaksudkan sebagai pembedaan metafisik secara literal, tetapi deskripsi dari berbagai elemen yang terlibat dalam keberadaan manusia. Yang sangat penting untuk diketahui adalah cara Maximus menekankan kesatuan manusia, penilaian yang positif dari tubuh dan hubungannya yang permanen dengan jiwa (sejalan dengan 1 Kor. 15:35-57), dan cara-cara yang kreatif dan hati-hati bahwa Maximus menyesuaikan ide-ide para pendahulunya untuk menekankan pemahaman holistik tentang pribadi manusia.
Selanjutnya, ada konsep penting tentang manusia sebagai mikrokosmos dan mediator.
Singkatnya, Maximus menggunakan istilah mikrokosmos untuk menggambarkan manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa, sebagai gambaran alam semesta yang diciptakan, sebuah "dunia kecil" yang mencerminkan aspek material dan spiritual dari ciptaan. Maximus juga berbicara tentang manusia sebagai mediator universal yang panggilannya, mengikuti teladan Kristus, untuk menyatukan semua ciptaan dengan Sang Pencipta.
Tentang Nous
Seiring dengan pemikiran Maximus tentang hubungan antara tubuh dan jiwa adalah
pemahamannya tentang nous (νοuσ). Menurut Maximus, nous (intelek) adalah bagian atau
organ kontemplatif manusia yang terutama bertanggung jawab dalam relasi dengan Allah.
Nous harus diselaraskan dengan unsur-unsur lain di dalam diri manusia, yang mengarah pada pemahaman kontemplatif tentang penciptaan, dan untuk mewujudkan penyatuan manusia dengan Allah Tritunggal. Bagi Maximus, nous mewakili manusia secara keseluruhan (dalam kaitannya dengan tubuh dan jiwa), dan menetapkan orientasinya pada Allah yang merupakan tujuan sebenarnya dari seluruh pribadi manusia. Diidentifikasi dengan jiwa, dan mewakili seluruh pribadi, nous dapat dipahami sebagai "subjek berpikir" kita atau sebagai "subjek spiritual" kita. Maximus berbicara tentang nous yang dimurnikan oleh rahmat dan maju menuju Allah melalui tiga jalan: asketisme praktis, kontemplasi, dan penyatuan misteri dengan Allah (praktike, phusike, dan theologike). Oleh karena itu, nous adalah salah satu cara Maximus berbicara tentang pribadi manusia, aspek keberadaan manusia, menyatukan ide-ide tentang sesuatu yang berada di luar alam, yang mewakili kesatuan batin dan kapasitas atau sarana yang dengannya kita berhubungan dengan Allah. Ketika kita fokus secara khusus pada karya Maximus di Philokalia, kita menemukan sejumlah hal penting dalam pengajarannya tentang tubuh dan jiwa manusia. Bagi Maximus, tubuh dan jiwa sama-sama diciptakan oleh Allah dan untuk Allah dan adalah baik (Third Century on Love, Philokalia 2, 39; ET 2, 102).
Selanjutnya, jiwalah yang memberi gerak pada tubuh. Maximus secara konsisten mengkontraskan antara tubuh dan jiwa, bahkan menegaskan bahwa jiwa lebih mulia daripada tubuh. Akibatnya, orang yang lebih menghargai tubuh daripada jiwa (dan dunia yang diciptakan Allah lebih dari Sang Pencipta) adalah seorang penyembah berhala. Tiga aspek jiwa—perasaan, hasrat/nafsu, dan rasio/pikiran—adalah kekuatan yang dapat digunakan secara negatif (dalam dosa) atau secara positif (dalam kehidupan suci, sesuai dengan kodrat sejati) (First Century on Love, Philokalia 2, 10; ET 2, 60).
Menurut Maximus, kekuatan jiwa ini disembuhkan atau dikembalikan ke tujuan penciptaannya melalui praktik spiritual: sedekah menyembuhkan kekuatan perasaan dari jiwa; puasa melenyapkan hasrat atau nafsu indria; dan doa memurnikan rasio/pikiran dari jiwa dan mempersiapkannya untuk kontemplasi (First Century on Love, Philokalia 2, 11; ET 2, 61, 62). Sementara mungkin ada yang terganggu oleh pandangan negatif dari tubuh oleh Maximus atau pandangan superior terhadap jiwa, kita harus ingat bahwa Maximus mengakui nilai
terbatas asketisme tubuh (Fourth Century on Love, Philokalia 2, 47; ET 2, 108) dan menegaskan kebaikan semua makhluk, termasuk tubuh dan jiwa. (Fourth Century on Love, Philokalia 2, 42; ET 2, 101–2).
Selain itu, seperti yang akan kita lihat dalam ajaran Maximus tentang theosis, tubuh dan jiwa hidup bersama dalam harmoni, seperti yang dikehendaki Allah, ketika difokuskan dan disemangati oleh cinta kepada Allah dan sesama. Sementara, menurut Maximus dan bapa lain yang termasuk dalam Philokalia, jiwa dapat memberikan pengaruhnya pada tubuh, keduanya diciptakan untuk bekerja sama secara harmonis. Mereka ada dalam hubungan vital satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang utuh, terpadu, dan merupakan satu kesatuan yang esensial dan tidak dapat direduksi.
Referensi:
No comments:
Post a Comment